Dalam melakukan diskresi, jangan dilakukan sendiri, tetapi dilakukan atas dasar kewenangan dan persetujuan atasan. UU 30 tahun 2014
Dalam hal melakukan inovasi, jangan melakukan sendiri, tetapi perlu persetujuan LKPP. ( Peraturan LKPP nomor 19 tahun 2018 )
UU 30 TAHUN 2014
Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan
PASAL 22
(1). Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(2). Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:
-
- melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
- mengisi kekosongan hukum;
- memberikan kepastian hukum; dan
- mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Pasal 23
Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:
- pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
- pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
- pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
- pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Pasal 24
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
- sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
- tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- sesuai dengan AUPB;
- berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
- tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
- dilakukan dengan iktikad baik.
Pasal 25
(1) Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.
(3) Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
(4) Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.
(5) Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam.
Pasal 26
(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat.
(3) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan.
(4) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Pasal 27
(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan negara.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada Atasan Pejabat.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum penggunaan Diskresi.
Pasal 28
(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang ditimbulkan.
((2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi.
Pasal 29
Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 dikecualikan dari ketentuan memberitahukan kepada Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g.
Pasal 30
(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila:
- bertindak melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
-
- bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
- tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.
– Pasal 31
(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila:
- menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan;
-
- tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau
- bertentangan dengan AUPB.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.
Pasal 32
(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.
PERATURAN LKPP NOMOR 19 TAHUN 2018
Pasal 1
(1) Untuk mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berwenang mengembangkan sistem dan kebijakan pengadaan barang/jasa dalam bentuk antara lain:
- inovasi sistem di bidang pengadaan barang/jasa;
- inovasi kebijakan di bidang pengadaan barang/jasa;
- inovasi organisasi dan kelembagaan di bidang pengadaan barang/jasa; dan
- inovasi lainnya.
(2) Tujuan pengembangan sistem dan kebijakan di bidang pengadaan barang/jasa yaitu:
- melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
- mengisi kekosongan hukum;
- memberikan kepastian hukum; dan
- mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Pasal 2
Dalam mengembangkan sistem dan kebijakan pengadaan barang/jasa, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mempertimbangkan:
- tujuan, kebijakan, prinsip, dan etika pengadaan barang/jasa;
- Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
- alasan-alasan yang objektif;
- tidak adanya konflik kepentingan;
- iktikad baik; dan
- terjaminnya tidak terdapat praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta kerugian negara.
Pasal 3
(1) Pengembangan sistem dan kebijakan pengadaan barang/jasa dapat dilakukan berdasarkan:
- usulan dari pihak yang memerlukan antara lain, namun tidak terbatas pada Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah/Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); dan/atau
- inisiasi dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
(2) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menelaah dan mengkaji usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah membuat kajian untuk inisiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Hasil pengembangan sistem dan/atau kebijakan pengadaan barang/jasa ditetapkan dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.